Sebelum menikah, saya dan istri melewati fase itu. Proses pernikahan yang gagal. Orang yang sudah kasih sinyal, tiba-tiba mundur perlahan. Dilangkahi atau ditinggal menikah dengan orang yang dulu pernah ta’arufan.
Kenyataan kami bertemu dan menikah dalam tempo tiga bulan saja menunjukkan: kalau sudah waktunya, pernikahan itu 1 2 3. Nggak pakai lama. Nggak pakai galau-galauan. Nggak pake sikut-sikutan dengan orang lain. Lancar jali. Bebas macet.
Skenario Allah tidak sama dengan keinginan manusia. Catat itu baik-baik. Betapa banyak orang yang memendam rasa, tapi harus tunduk di depan kekuasaan Allahu Ta’ala. Bukan, bukan perasaan kita yang mengatur siapa menikah dengan siapa. Siapa batal dengan siapa.
Kita ini hamba-hamba yang lemahnya luar biasa. Petantang petenteng berlaga banyak disuka, tapi kalau Allah bilang tidak: mau bilang apa?
Jadi, jangan sampai ada gagasan di kepala: jodohku diambil orang. Tidak, jodohmu tidak bisa diambil orang, karena Allah-lah yang menentukan dan memastikan. Kalaulah ada orang yang kita harapkan jadi pasangan, malah berakhir menikah dengan orang lain, itu bukan jodoh diambil orang. Tapi itulah jalan yang harus kau lampaui menuju jodohmu yang telah ditetapkan.
Allah menyingkirkan orang-orang yang bukan jodoh kita.
Allah membatalkan hal-hal yang bisa menjuruskan kita pada pernikahan yang tak dikehendakiNya.
Allah mencegah. Allah mengenyahkan. Allah meniadakan.
Kejam?
Dari awal, siapa yang mengajarimu: jatuh cinta sama dengan “dia pasti jodohku”? Betapa banyak orang jatuh cinta, tak semua berakhir duduk di pelaminan. Inilah pelajaran-pelajaran cinta paling mendasar:
Selagi belum ijab qabul, dia bukan siapa-siapamu.
Dia bukan pasangan resmimu.
Dia bukan pendamping hidupmu.
Sampai para saksi katakan, “SAH!”
Nah, saat itulah, kau boleh tersenyum bahagia. Lihat baik-baik. Dialah jodohmu yang sebenarnya. Yang selama ini kaucari dan idam-idamkan kehadirannya.