Bagaimana Cara Menasehati Kedua Orangtua Supaya Belajar Agama yang Benar?



Tanya: 
Bagaimana cara menasehati orangtua, ayah ataupun ibu, untuk belajar agama yang benar karena pemahaman ayah sudah keliru seperti ibadah wajib saja tidak dianggap penting, yang penting sikap terhadap sesama?

Jawab:
Yang pertama kali kita lakukan ketika kita mendapati keluarga kita belum memahami atas apa yang kita lakukan, adalah Muhasabah dulu sebelum menyalahkan. Muhasabah itu apa?

Pertama, sudah berapa banyak doa yang kita titipkan untuk ayah dan ibu kita. Kadang-kadang kita itu sering menyalahkan ayah kita, “Ayah kita itu masih jahil, ustadz, masih awam.” Kadang-kadang saya tanya balik, “Lho, kamu itu sudah berapa kali sih sudah mendoakan orangtua sampai berani untuk menyebut bahwasanya ayah kita itu jahil.” Jangan-jangan ayah kita ini jahil dan masih awam, disebabkan kita tidak pernah menyampaikan ilmu yang kita pelajari. Kita asyik dengan pengajian kita, tapi kita lupa menyampaikan ilmu yang kita pelajari kepada mereka, atau kita jarang mendoakan mereka. Muhasabah dulu. Itu yang pertama, tentang masalah doa.

Muhasabah yang kedua, sudah berapa sering kita berbagi kepada kedua orangtua kita untuk masalah ilmu. Ingat, orangtua kita dulu hidup pada zaman ketika belum banyak tegak kajian ilmu. Tolonglah untuk memahami udzur. Karena memahami udzur itu menciptakan sifat kemakrufan ketika menyikapi suatu masalah.

Kalau yang bertanya ini usianya 30an, berarti orangtua kita hidup tahun ‘70an. Tahun ‘70an itu mencari kajian ilmu, susah, sulit. Itupun terkadang, mungkin, orangtua kita ingin belajar agama ke pondok, tapi apalah daya, antum sudah nongol di rahim sampai kemudian ibu kita hamil mengandung kita. Dia gugurkan keinginannya untuk belajar agama karena ingin merawat kita.

Kita kenapa sih tidak bisa memberi udzur kepada orangtua kita? Karena apa? Kadang-kadang kita sering menyalahkan, mencela kegelapan, tapi tidak mau membawa lentera lilin. Kadang-kadang kita sering menyalahkan orang, tapi kita tidak mau muhasabah diri kita. Apa susahnya sih kita muhasabah diri? “Kenapa ya orangtua saya kok belum paham?” “Oh mungkin, karena satu; doamu belum tekun kepada kedua orangtuamu.”

Bisa jadi orangtua kita hari ini belum paham, disebabkan kita tidak pernah menyampaikan ilmu kepada mereka. Kadang-kadang Masya Allah, hal yang perlu kita bagi pertama kali sebelum kita membagi harta kepada orangtua kita, adalah bagilah ilmu, karena itulah alat untuk bersama-sama masuk surga. Dan kalau kita membagi ilmu kepada orangtua kita, pahamilah, orangtua kita sudah sepuh ketika mereka mengurai tentang suatu masalah yang baru, butuh waktu yang lama.

Saya pernah cerita sebuah kisah nyata, ada seorang ikhwan mau menikah, senang, datang ke saya, “Ustadz saya mau nikah.” Dan saya tanya, “Kapan nikahnya?” “Sekitar satu bulan setengah yang akan datang, ustadz.”

Kemudian datang suatu waktu ketika akhirnya datang, ia datang dengan wajah sedih, tampak mendung di rona wajahnya. Maka kemudian saya tanya, “Kenapa akhi sedih?”

“Begini ustadz, orangtua saya itu ternyata tidak menyetujui konsep walimah syar’i yang ingin saya lakukan.”

Saya tidak menyalahkan orangtuanya. Saya lalu tanya, “Akhi, walimah syar’i yang antum konsepkan, kapan antum kasih tahu ke orangtua antum?” “Seminggu yang lalu, ustadz.” Masya Allah…

Saya tanya, “Antum belajar tafsir dan paham sunnah itu, sudah berapa lama?”

“4 tahun.”

“Lho, 4 tahun itu antum kemana saja. Jangan salahkan orangtua antum, ketika antum tiba-tiba tinggal satu bulan, tiba-tiba antum ngomong, ‘Pak, saya tidak mau pakai ini, saya tidak mau pakai ini, tolong pahami saya.’”

“Lho, memang orangtua antum juga tidak ingin dipahami oleh antum? Yang salah bukan mereka akhi, yang salah antum karena antum tidak memberikan waktu yang lama supaya mereka menguraikan setiap kebenaran yang antum sampaikan kepada mereka.”

Bahkan untuk mencerna makanan saja butuh waktu 6 jam dalam usus. Makanan yang kelihatan; gorengan, tahu isi, bakwan, butuh 6 jam. Kalau gorengan saja diuraikan 6 jam, memangnya ketika kita mengubah kehidupan orang dan mengoreksi yang salah, itu gampang? Tidak gampang.

Ingat tidak, kita dulu sering membantah kalau diberitahu. Kita ingat tidak, ketika kita muda, diberi nasehat, kita marah dengan orang yang memberikan nasehat. Alhamdulillah ketika hari ini sudah putih semuanya kemudian akhirnya gampang menerima kebenaran. 

Kemudian ketika antum sadar bahwasanya dulu antum juga susah dikasih nasehat kecuali sampai akhirnya kenalan; kan banyak orang yang mempelajari hidayah ini macam-macam, karena kemudian salut kepada ustadznya, santun, ada yang senang kepada yang menyampaikan ilmunya karena meresap ke hati, kan beda-beda. Tapi kan kita sepakat kita itu dulunya banyak meninggalkan sunnah. Berapa banyak di SD saat kita dikasih tahu guru kita saja, kita marah kok, kita kemudian membantah guru kita. Kalau antum saja dalam diri antum sering menolak ketika belum paham pentingnya kehidupan akhirat, maka orang lain pun sama, berikanlah udzur terutama kepada kedua orangtua kita.

Jadi Masya Allah, muhasabah dulu. Banyak-banyaklah kemudian merenung, sudah berapa banyak doa yang kamu panjatkan, sudah berapa banyak ikhtiar yang kamu lakukan.

Apa susahnya sih, mengajak orangtua kita ke ustadz, yang kira-kira ustadznya mungkin cocok dengan kedua orangtua kita. Misalnya orangtua kita ini kelihatannya dari Medan, nah, ketemukan dengan ustadz dari Medan, supaya cocok. “Orangtua saya Jawa, ustadz, lembut.” Nah, temukan dengan ustadz yang dari orang Jawa. Itu kan cara, ikhtiar. Walau bukan berarti harus seperti itu. Itu ikhtiar saja. “Apa ya caranya?”

Kenapa? Karena kita tidak akan pernah mengerti, kapan pintu hati seseorang itu terbuka. Jadilah antum itu orang yang berusaha. Ketika pintu hidayah seseorang itu terbuka, antum lah yang memegang kuncinya. Antum akan beruntung. Tidak ada yang pernah menyangka saat hidayah datang, karena hati itu miliknya Allah.

Kita ikhtiar, tapi berharaplah kepada Allah, “Ya Allah, ketika orangtuaku, saudaraku, adikku, terbuka pintu hidayahnya, saya berharap, sayalah yang memegang kunci, membuka pintu hidayah bagi mereka.

(Sumber:http://www.syahida.com)