Inilah Dampak Dahsyat Jika Kita Akrab dengan Al-Qur’an



Sahabat Ummi, kira-kira sudah seberapa akrab berinteraksi dengan al Qur'an? Bukan sekadar jumlah hafalan dan berapa banyak halaman yang dibaca setiap harinya, lebih dari itu... seberapa banyak nilai dalam Qur'an yang telah kita implementasikan di hidup kita?

“Aku tinggalkan sesuatu, yang jika berpegang teguh pada keduanya, kalian tak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.”

Sahabat Ummi, pesan Rasulullah saw dalam Haji Wada’ itu tidak asing di telinga kita. Namun, berapa banyak dari kita yang sudah melaksanakan pesan tersebut? 

Muslimin Dan Qur'an 

Kedekatan dengan Al-Qur'an, menurut Ustadz Ahzami Samiun Jazuli, MA, bisa dilihat dari sejauh mana umat Islam membaca, mentadabburi, menghafal dan mengamalkan. Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesi (LSI) dan Goethe Institute tahun lalu menunjukkan, dari 1496 remaja Muslim Indonesia berusia 15-25 tahun yang menjadi responden, hanya 10,8 persen yang selalu membaca Al-Qur'an. Mayoritas atau 61,1 persen menyatakan kadang-kadang dan 0,3 persen tidak pernah membaca Qur'an.

Survei tersebut juga mengungkapkan, 28,7 persen kaum muda Muslim selalu shalat lima waktuSebanyak 30,2 persen menyatakan sering, 39,7 persen mengaku kadang-kadang, dan 1,2 persen tidak pernah shalat lima waktu. Survei ini setidaknya memberi sedikit gambaranmengenai pengamalan shalat kaum muda kita. 

Lalu bagaimana dengan data jumlah penghafal (huffaz)? Koordinator Sekretariat Musabaqah Tahunan Hafalan Al-Qur’an Sultan Bin Abdul Aziz Tingkat Nasional, Gunaim Ikhsan, menyatakan, pada 2010 jumlah huffaz di Indonesia 30 ribu orang dari 240 juta umat Islam saat itu. Pada tahun yang sama, di Arab Saudi ada 6.000 penghafal Al-Qur'an dari 27,1 juta jiwa penduduk Muslim di sana. 

Masih data 2010, Sekjen World Islamic Call Society (WICS) Dr Mohamed Ahmed Sheri menyebutkan, kira-kira terdapat 1,4 juta huffaz dari 7 juta penduduk Libya. SedangkanKementerian Waqaf (semacam kementerian agama) Mesir baru-baru ini melansir berita bahwa mereka memiliki 12,3 juta huffaz atau 18,5 persen dari total 67 juta jiwa penduduknya.Sementara itu di Gaza, Palestina, kini terdapat 60 ribu huffaz dari 1,7 juta jiwa penduduk Gaza. 

Indahnya Negeri Di Bawah Naungan AL-Qur'an 

Melihat data di atas, kita layak memberikan apresiasi tinggi pada penduduk Gaza. Suasana perang tidak menghalangi mereka untuk menghafal Al-Qur’an. Bertolak belakang dengan kondisi di negeri kita yang aman tenteram, namun tak banyak Muslim yang tergerak hatinya untuk dekat dengan Qur’an. 

Agus Sudjatmiko, Direktur Pesantren Tahfidz Sekolah Darul Qur’an Internasional Bandung,menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Gaza, Mei 2012. “Saya baru melihat negara dengan pengaruh Qur'an yang begitu kuat. Di sana, hampir semua orang menghafal Qur'an. Terutama para pemimpin, mulai dari Perdana Menteri Ismail Haniya, menteri, anggota parlemen, hingga para profesional seperti dosen, insinyur, dokter. Dan hasilnya, luar biasa,” tuturnya bersemangat. 

Di Gaza, kata Agus, tak ada peminta-minta. Angka buta huruf, menurut pengakuan pejabat pendidikan di sana, nol persen. Hasil pertanian melimpah, padahal petani hanya mengandalkan pengairan dari air hujan. “Inilah berkah negeri para pejuang yang selalu dekat dengan Al-Qur'an. Tanahnya subur karena disiram oleh darah syuhada.”

Muslim di sana melaksanakan ajaran Islam dengan penuh kesadaran. Masjid selalu penuh. Para wanita menutup aurat dengan sempurna. Muslimah-muslimah bermental baja dengan sukarela melepas suami dan anak lelakinya untuk berjihad. Generasi muda tak ketinggalan, gagah berani mereka melawan tentara Israel. Keindahan kondisi masyarakat di bawah naungan Al-Qur'an, tambah Agus, tak terwakili oleh kata-kata. Al-Qur’an membuat mereka menjadi mulia. 

Tak Sekedar Menghapal 

Gaza bisa seperti itu, ucap Agus, karena mereka mengamalkan Qur'an dengan penuh kesadaran. Para pemimpin Gaza, yang diawali oleh almarhum Syaikh Ahmad Yasin, melakukan tarbiyah Qur’ani atau pendidikan dengan berlandaskan Al-Qur'an. Kondisi peperangan turut berperan penting untuk membuat mereka selalu waspada, tidak melakukan aktivitas yang sia-sia, dan mendorong untuk selalu dekat pada Allah. 

Di Indonesia sebetulnya juga terdapat penghafal Qur'an. Namun, itu saja tidak cukup. “Seorang penghafal Al-Qur'an tidak secara otomatis memiliki akhlak mulia. Ia butuh kondisi yang bisa mengarahkannya untuk menjadi manusia yang baik. Nah, kondisi itu bisa kita bangun di keluarga masing-masing. Menjadi tugas kita semua untuk mengarahkan anggota keluarganya agar cinta Al-Qur’an,” cetus Agus. 

Ustadz Ahzami menambahkan, menjadi penghafal Al-Qur'an tidak sekadar menghafal secara textbook. Melainkan harus menegakkan hukum Allah sesuai isi Al-Qur'an.Seperti dicontohkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra saat memerangi orang-orang yang menolak zakat dan shalat. Padahal, dua hal ini merupakan rukun Islam yang hukumnya jelas dalam Al-Qur’an.

“Hal ini memberikan pemahaman, jangan sampai dengan alasan menjaga hafalannya, para penghafal Al-Qur’an meninggalkan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti jihad atau mencari nafkah,” tambah ustadz Ahzami. 

Lalu, apakah semua Muslim seharusnya menghafal Al-Qur'an? Idealnya, menurut Ustadz Ahzami, seluruh kaum Muslimin membaca, menghafal dan mengamalkan Al-Qur'an. Khusus untuk menghafal, jika ia tidak bisa 30 juz, berarti sebagian besarnya. Kalau tidak sebagian besarnya, berarti berbagi tugas, dengan anak misalnya.”

Memang benar, tambahnya, tidak semua kaum Muslimin memiliki cukup waktu menghafalkan Al-Qur'an. Di zaman Rasulullah, ada sosok seperti Khalid bin Khuwailid yang memang pakar peperangan, hingga beliau hanya hafal sebagian dari Al-Qur'an. 

“Setiap Muslim adalah penghafal Al-Qur'an, pejuang, kepala rumah tangga yang baik. Tetapi manusia tidak ada yang sempurna, selain Rasulullah saw. Meski begitu, kita wajib berusaha yang terbaik dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an,” pungkas Ustadz Ahzami.

(Sumber:http://www.ummi-online.com)